Selasa, 10 Mei 2011

PENGARUH PERSEPSI KUALITAS LAYANAN DAN KEPUASAN KONSUMEN TERHADAP KEINGINAN

PENGARUH PERSEPSI KUALITAS LAYANAN DAN KEPUASAN KONSUMEN TERHADAP KEINGINAN
PEMBELI
Aug 11th, 2007 by admin
Retail industries are challenged to continually improving their services in
order to cope with consusmers’ higher demands. Theoritically, consumers’
purchase intention could be increased bu providing service quality and customer
satisfaction. This article discusses how Yogyakartans’ students perception on
Yogyakarta based-Gramedia Bookstore services andhow the students’ satisfaction
influence the students’ purchasing intention. A questionnaire developed by
Setywan and Ihwan (2004) to analyze purchasing intention in retail companies in
Surabaya is used to collect data. A number of 102 samples was selected
purposivelyaccording their experience in buying books from the Gramedia and
filled lout the questionnaire. Results show that service quality and custamer
saisfaction, both simulataneously and individually, significantly influence
purchasing intention.
Keywords: purchase intention, satisfaction, service quality perception

Perkembangan industri retail yang sangat cepat menuntut produsen menyiapkan
saluran distribusi yang efektif. Sebagian besar produsen tidak langsung menjual
barang mereka kepada pemakai akhir. Di antara produsen dan pemakai terdapat
saluran pemasaran, sekumpulan perantara pemasaran yang melakukan berbagai fungsi
dan menyandang berbagai nama (Kotler, 2000). Ada berbagai level saluran yang
menghubungkan produsen dengan pelanggan akhir. Saluran terakhir yang
menghubungkan produsen dengan pelanggan akhir adalah pengecer (retailer).
Menurut Kotler (2000) usaha eceran meliputi semua kegiatan yang terlibat dalam
penjualan barang atau jasa secara langsung kepada konsumen akhir untuk
penggunaan pribadi dan bukan bisnis. Pengecer
Toni Wijaya dan Lita Irawati adalah mahasiswa pada Pascasarjana Universitas Atma
Jaya Yogyakarta
adalah usaha bisnis yang volume penjualannya terutama berasal dari penjualan
eceran. Organisasi apa pun yang menjual kepada konsumen akhir baik itu produsen,
grosir, atau pengecer dikatakan melakukan usaha eceran.
Menurut Berman dan Evans dalam Setywan (2004) ada beberapa hal yang membuat
industri retail penting untuk dipelajari yaitu; pertama, implikasi retailing
dalam perekonomian global. Penjualan retailing dan daya serap tenaga kerjanya
menjadi kunci perekonomian global. Kedua, fungsi retail dalam rantai distribusi.
Dalam rantai distribusi, retail berfungsi menjadi penghubung antara final
consumer, dengan manufacturer dan wholesaler. Ketiga, hubungan antara pengecer
dengan pelanggan. Cara pandang yang berbeda antara retailer dan supplier perlu
diatasi. Masalah yang perlu diatasi adalah kontrol terhadap retail, alokasi
profit, jumlah retail pesaing, lokasi, display dan masalah promosi.
Organisasi retail sangat beragam dari yang nyata hingga di dunia maya (virtual).
Ada beberapa jenis organisasi retail (kotler,2000) yaitu: swalayan; toko khusus,
toko serba ada, pasar swalayan, toko kenyamanan (convinience) dan pengecer
potongan harga, swapilih, pelayanan terbatas, pelayanan penuh. Industri retail
saat ini berusaha menemukan strategi pemasaran baru guna menarik dan
mempertahankan pelangggan dengan menawarkan lokasi yang dekat, jenis produk yang
unik, dan pelayanan yang baik. Seperti halnya semua pemasar, retail harus
menyiapkan rencana pemasaran yang meliputi keputusan mengenai pasar sasaran,
ragam dan pengolahan produk, pelayanan produk dan suasana toko.
Retail merupakan salah satu jenis saluran industri jasa yang berbeda dengan
jenis industri manufaktur, hal ini menyebabkan kesukaran dalam mengukur kinerja
industri retail. Alat pengukuran kinerja jasa dikembangkan oleh Parasuraman
(1988) untuk mengukur kepuasan konsumen perusahaan jasa yaitu SERVQUAL (service
quality).
Pemberian atau pelayanan jasa oleh perusahaan retail mungkin dapat mengalami
kegagalan dalam memberikan kepuasan kepada pelanggan apabila perusahaan tidak
mengetahui bentuk layanan yang sebenarnya diinginkan pelanggan. Persepsi
pelanggan terhadap kualitas pelayanan suatu toko eceran mungkin akan memberikan
kepuasan kepada pelanggan yang kemudian menciptakan minat bagi pelanggan untuk
melakukan pembelian di toko eceran tersebut (Setyawan dan Ihwan, 2004).
Penelitian mengenai service quality perception dan purchase intention pada
industri komunikasi, transportasi, kesehatan dan hiburan pernah dilakukan Taylor
dan Baker (1994). Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Setyawan dan Ihwan
(2004) yang mereplikasi penelitian Taylor dan Baker pada perusahaan retail.
Penelitian ini menguji pengaruh service quality perception dengan satisfaction
sebagai variabel antara (moderating variable) namun hasil penelitian menunjukkan
bahwa variabel service quality perception dan variabel satisfaction merupakan
variabel bebas (independent variable). Penulis melakukan replikasi dari
penelitian terdahulu dengan menetapkan variabel service quality perception dan
variabel satisfaction sebagai variabel yang independen sesuai hasil penelitian
Setyawan dan Ihwan (2004). Replikasi penelitian dilakukan untuk menguji hasil
penelitian Setyawan dan Ihwan (2004) dengan mengambil responden mahasiswa. Hal
ini didasari bahwa mahasiswa dalam memenuhi kebutuhan studinya akan melakukan
pembelian eceran khususnya perlengkapan tulis seperti buku tulis dan buku acuan
studi. Penelitian ini dilakukan untuk menguji apakah ada pengaruh service
quality perception dan satisfaction terhadap purchase intention baik secara
simultan maupun parsial.
Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang akan dirumuskan dalam penelitian
ini adalah:
1. apakah service quality perception dan satisfaction berpengaruh terhadap
purchase intention secara simultan
2. apakah service quality perception dan satisfaction berpengaruh terhadap
purchase intention secara parsial
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menguji pengaruh service quality
perception dan satisfaction terhadap purchase intention secara simultan dan
parsial. Variabel service quality perception dan satisfaction diekspektasikan
secara bersama-sama maupun secara parsial mempengaruhi variabel purchase
intention.
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan riset pemasaran terutama
bagi pengecer dalam mengembangkan jenis layanan retail yang sesuai kebutuhan
konsumen yang mana service quality perception dan satisfaction dari pelanggan
berperan dalam menstimulan intensitas pembelian. Penelitian ini juga bermanfaat
sebagai konfirmasi dari penelitian terdahulu.
TINJAUAN KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS
Service Quality pada Usaha Retail
Menurut Kotler (2000) usaha eceran meliputi semua kegiatan yang terlibat dalam
penjualan barang atau jasa secara langsung kepada konsumen akhir untuk
penggunaan pribadi dan bukan bisnis. Penelitian mengenai service quality dan
purchase intention sudah banyak dilakukan antara lain Rusk dan Zahorik (1993),
Taylor & baker (1994) dan Olsen (2002) sedangkan di Indonesia dilakukan oleh
Setyawan dan Ihwan (2004). Quality dalam penelitian ini memiliki pengertian
berdasarkan konsep perceived quality. Perceived quality adalah penilaian
konsumen akan entitas kesempurnaan atau superioritas. Parasuraman (1985) dalam
Chang (2002) mendefinisikan service quality sebagai sebuah perbandingan dari
harapan pelanggan dengan persepsi dari layanan nyata (actual performance) yang
mereka terima. Service quality perception juga didefinisikan sebagai persepsi
konsumen secara keseluruhan baik keunggulan dan kelemahan dari organisasi dan
pelayanannya (Taylor dan Baker dalam Setyawan dan Ihwan, 2004).
Konsep service quality yang dikemukakan Parasuraman (1988) dalam Setyawan dan
Ihwan (2004) terdiri dari lima dimensi yaitu tangibles, reliability,
responsiveness, assurance dan emphaty. Namun konsep ini mengalami perubahan
seiring dengan kritik yang dilakukan oleh beberapa peneliti antara lain, Brown,
Churchill dan Peter (1993) yang mengemukakan bahwa konsep ini mengalami masalah
dalam perbedaan penilaian. Mereka menyarankan agar menggunakan alat pengukuran
psikometrik. Penelitian yang dilakukan Carman (1990) justru menemukan adanya 5
sampai dengan 9 dimensi dari service quality dengan factor analysis. Dabholkar,
Thorpe dan Rentz (1996) mengemukakan bahwa dimensi Servqual lebih relevan untuk
penelitian dengan setting perusahaan retail.
Konsep Kepuasan Pelanggan
Kotler menyatakan bahwa kepuasan adalah tingkat perasaan seseorang setelah
membandingkan kinerja atau hasil yang ia rasakan dibandingkan dengan harapannya,
sedangkan Wilkie mendefinisikan kepuasan pelanggan sebagai suatu tanggapan
emosional pada evaluasi terhadap pengalaman konsumsi suatu produk atau jasa
(Tjiptono, 1997).
Kepuasan merupakan tingkat perasaan konsumen yang diperoleh setelah konsumen
melakukan/menikmati sesuatu. Dengan demikian dapat diartikan bahwa kepuasan
konsumen merupakan perbedaan antara yang diharapkan konsumen (nilai harapan)
dengan situasi yang diberikan perusahaan (perguruan tinggi) di dalam usaha
memenuhi harapan konsumen.
Soelasih (2004:86) mengemukakan bahwa:
1. nilai harapan = nilai persepsi maka konsumen puas
2. nilai harapan < nilai persepsi maka konsumen sangat puas
3. nilai harapan > nilai persepsi maka konsumen tidak puas
nilai harapan dibentuk melalui pengalaman masa lalu, komentar atau saran dari
mahasiswa dan informasi dari pesaing. Adapun nilai persepsi adalah kemampuan
perusahaan (perguruan tinggi) di dalam melayani mahasiswa dalam upaya memuaskan
konsumen (mahasiswa).
Menurut Engel dkk (1995) kepuasan didefinisikan disini sebagai evaluasi
pascakonsumsi bahwa suatu alternatif yang dipilih setidaknya memenuhi atau
melebihi harapan. Ketidakpuasan tentu saja didefinisikan sebagai hasil dari
harapan yang diteguhkan secara negatif. Ada tiga harapan mengenai suatu produk
atau jasa yang diidentifikasi oleh beberapa peneliti yaitu:
1. kinerja yang wajar
2. kinerja yang ideal
3. kinerja yang diharapkan
kinerja yang diharapkan adalah yang paling sering digunakan dalam penelitian
karena logis dalam proses evaluasi alternatif yang dibahas (Engel, 1995).
Ketidakpuasan/keluhan konsumen terhadap suatu jasa pelayanan karena tidak sesuai
dengan yang diharapkan dapat berdampak negatif terhadap keberhasilan jasa
pelayanan tersebut. Menurut Folks dalam Engel (1995), stabilitas dan fokus
kegagalan produk mempengaruhi harapan yang berhubungan dengan kegagalan masa
mendatang. Singh dalam Engel (1995) mengemukakan tiga kategori ketidakpuasan
konsumen yaitu:
1. respons suara
2. respons pribadi
3. respons pihak ketiga.
Perusahaan banyak menggunakan berbagai cara untuk mempertahankan konsumen salah
satunya adalah memastikan kualitas produk dan jasa memenuhi harapan konsumen.
Pemenuhan harapan akan menciptakan kepuasan bagi konsumen.
Konsumen yang terpuaskan akan menjadi pelanggan, mereka akan (Kotler, 1996) :
1. melakukan pembelian ulang
2. mengatakan hal-hal yang baik tentang perusahaan kepada orang lain
3. kurang memperhatikan merek ataupun iklan produk pesaing
4. membeli produk yang lain dari perusahaan yang sama
Setiap perusahaan atau organisasi yang menggunakan strategi kepuasan konsumen
akan menyebabkan para pesaingnya berusaha keras merebut atau mempertahankan
konsumen suatu perusahaan. Kepuasan konsumen merupakan strategi jangka panjang
yang membutuhkan konsumen baik dari segi dana maupun sumber daya manusia
(Schnaars, 1991). Beberapa strategi yang dipadukan untuk meraih dan meningkatkan
kepuasan konsumen adalah:
1. Relationship Marketing (Mc Kenna, 1991) yaitu strategi dimana transaksi
pertukaran antara pembeli dan penjual berkelanjutan, tidak berakhir setelah
penjualan selesai. Dengan demikian terjalin suatu kemitraan dengan pelanggan
secara terus menerus, yang pada akhirnya menimbulkan kesetiaan (loyalitas)
konsumen sehingga terjalin bisnis ulang. Relationship marketing berdasarkan
pada:
a. fokus customer retention
b. orientasi manfaat produk
c. orientasi jangka panjang
d. layanan pelanggan yang sangat diperhatikan dan ditekankan
e. komitmen terhadap konsumen sangat tinggi
f. kontak dengan pelanggan sangat tinggi
g. kualitas yang merupakan perhatian semua orang
2. Strategi Superior Customer Service (Schnaars, 1991)
Strategi ini menawarkan pelayanan yang lebih baik daripada pesaing. Perusahaan
atau organisasi yang menggunakan strategi ini harus memiliki dana yang cukup
besar dan kemampuan SDM yang unggul, serta memiliki usaha yang gigih agar
tercipta suatu pelayanan yang superior. Maka tidak jarang perusahaan atau
organisasi yang menawarkan customer service yang lebih baik akan membebankan
harga yang lebih tinggi pada produk atau jasa yang dihasilkannya. Biasanya
perusahaan tersebut akan memperoleh manfaat yang cukup besar dari pelayanan yang
baik yang mereka berikan yaitu berupa tingkat pertumbuhan yang cepat dan
besarnya laba yang diperoleh.
3. Strategi unconditional guarantees (Hart, 1988) atau extra ordinary guarantees

Strategi ini berintikan komitmen untuk memberikan kepuasan konsumen yang
akhirnya akan menjadikan sumber dinamisme penyempurnaan mutu produk atau jasa
dan kinerja perusahaan. Disamping itu motivasi karyawan juga akan mengalami
peningkatan dalam mencapai tingkat kinerja yang lebih baik dari sebelumnya.
Fungsi utama garansi adalah untuk mengurangi resiko konsumen sebelum maupun
sesudah pembelian barang atau jasa sekaligus memaksa perusahaan yang
bersangkutan untuk memberikan yang terbaik dalam meraih loyalitas konsumen.
4. Strategi penanganan keluhan yang efisien (Schnaars, 1991)
Penanganan keluhan memberikan peluang bagi perusahaan untuk mengubah konsumen
yang tidak puas (unsatisfied customer) menjadi konsumen yang puas (satisfied
customer) terhadap produk atau jasa yang dihasilkan perusahaan. Dalam strategi
ini sumber masalah yang ditemukan harus diatasi, ditindaklanjuti, dan diupayakan
agar di masa yang akan datang tidak timbul masalah yang sama yang dihadapi oleh
konsumen. Kecepatan dan ketepatan penanganan merupakan hal yang krusial.
Ketidakpuasan konsumen akan semakin besar jika keluhan tersebut tidak ditanggapi
oleh perusahaan, karena hal ini akan menimbulkan kekecewaan yang dialami
konsumen. Para karyawan perusahaan perlu dilatih dan diberdayakan untuk
mengambil keputusan dalam rangka menangani situasi seperti itu. Empat aspek
penting dalam penanganan keluhan yaitu empati terhadap yang marah, kecepatan
dalam penanganan keluhan, kewajaran dan kemudahan bagi konsumen untuk
menghubungi perusahaan.
5. Strategi peningkatan kinerja perusahaan
Suatu strategi meliputi berbagai upaya seperti melakukan pemantauan dan
pengukuran kepuasan konsumen secara berkesinambungan, memberikan pendidikan dan
pelatihan yang mencakup komunikasi dan public relation terhadap pihak manajemen
dan karyawan, memasukkan unsur kemampuan untuk memuaskan konsumen yang
penilaiannya bias didasarkan pada survei konsumen, dalam sistem penilaian
prestasi karyawan dan memberikan enpowerment yang lebih besar kepada karyawan
dalam melaksanakan tugasnya.
6. Penerapan quality function deployment (QFD)
Merupakan praktek dalam merancang suatu proses sebagai tanggapan terhadap
kebutuhan konsumen. Konsep ini menerjemahkan apa yang dibutuhkan konsumen
menjadi apa yang dihasilkan perusahaan. Hal ini dilaksanakan dengan melibatkan
konsumen dalam proses pengembangan produk/jasa sedini mungkin dengan demikian
memungkinkan perusahaan untuk memprioritaskan kebutuhan konsumen serta
memperbaiki proses hingga tercapai efektivitas maksimum.
Kepuasan merupakan tingkat perasaan konsumen yang diperoleh setelah konsumen
melakukan/menikmati sesuatu. Dengan demikian dapat diartikan bahwa kepuasan
konsumen merupakan perbedaan antara yang diharapkan konsumen (nilai harapan)
dengan situasi yang diberikan perusahaan (perguruan tinggi) di dalam usaha
memenuhi harapan konsumen.
Teori kepuasan menyatakan bahwa bila konsumen puas terhadap produk atau jasa
maka akan memberikan rekomendasi pada orang lain dan merasa bangga akan produk
atau jasa tersebut (Soelasih, 2004). Norrie (1991) mengemukakan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara behavioral loyalty dan rekomendasi, apabila
loyalty tinggi maka rekomendasinya berwujud active word of mouth (spontaneous
expression of positive experiences) namun jika loyalty rendah dari konsumen maka
rekomendasinya berwujud passive word of mouth. Konsumen yang terpuaskan akan
menjadi pelanggan yang mengatakan hal-hal yang baik tentang perusahaan kepada
orang lain dan loyal terhadap perusahaan (Kotler, 2000).
Konsep Purchase Intention
Purchase Intention merupakan perilaku yang muncul sebagai respon terhadap objek.
Purchase Intention juga merupakan minat pembelian ulang yang menunjukkan
keinginan pelanggan untuk melakukan pembelian ulang (Assael, 1998). Beberapa
pengertian dari intention (Setyawan dan Ihwan, 2004) adalah sebagai berikut:
1. Intention dianggap sebagai sebuah ‘perangkap’ atau perantara antara
faktor-faktor motivasional yang mempengaruhi perilaku.
2. Intention juga mengindikasikan seberapa jauh seorang mempunyai kemauan untuk
mencoba.
3. Intention menunjukkan pengukuran kehendak seseorang.
4. Intention berhubungan dengan perilaku yang terus menerus.
Assael (1998) mengemukakan bahwa pemasar akan selalu menguji elemen-elemen dari
bauran pemasaran yang mungkin mempengaruhi purchase intention.
Penelitian Woodside dalam Setyawan dan Ihwan (2004) menyatakan bahwa pelanggan
menilai sikap dari pemberi jasa sebagai ekspektasi awal mengenai performance
toko dan sikap ini mempengaruhi minat pembelian pada sebuah toko. Perubahan
sikap menjadi input yang menentukan minat pembelian pelanggan. Namun hasil
penelitian Setyawan dan Ihwan (2004) menemukan bahwa service quality perception
dan satisfaction merupakan variabel independen. Variabel service quality
perception tidak berpengaruh terhadap purchase intention. Sehingga hasil ini
tidak mendukung penelitian sebelumnya. Penelitian ini menggunakan model hasil
penelitian Setyawan dan Ihwan (2004) dengan objek penelitian pada toko buku
Gramedia.
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
H1: service quality perception dan satisfaction berpengaruh secara simultan
terhadap purchase intention.
H2: service quality perception dan satisfaction berpengaruh secara parsial
terhadap purchase intention.
METODOLOGI PENELITIAN
Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi penelitian ini menggunakan setting mahasiswa dengan dasar bahwa di
Yogyakarta terdapat banyak mahasiswa yang melakukan pembelian retail khususnya
perlengkapan seperti buku-buku untuk keperluan studinya. Pemilihan toko buku
Gramedia Yogyakarta sebagai setting perusahaan retail dengan dasar bahwa toko
buku Gramedia Yogyakarta merupakan salah satu retail yang melayani keperluan
pelajar dan mahasiswa. Hal ini konsisten dengan subjek penelitian. Populasi
dalam penelitian ini tidak dapat diketahui jumlahnya karena setiap orang dapat
menjadi konsumen toko buku Gramedia Yogyakarta. Metode pengambilan sampel dalam
penelitian ini adalah metode non probability dengan purposive sampling dengan
kriteria konsumen (mahasiswa) yang pernah melakukan pembelian di toko buku
Gramedia. Sampel yang berhasil dikumpulkan sejumlah 102 orang mahasiswa.
Penelitian ini menggunakan data primer yang dikumpulkan menggunakan kuesioner
mengenai service quality perception, satisfaction dan purchase intention. Data
primer diperoleh dengan memberikan kuesioner secara langsung pada sampel
penelitian. Alat penelitian ini diadopsi dari penelitian terdahulu yang
dilakukan oleh Setyawan dan Ihwan (2004). Kuesioner terdiri dari 4 item dengan
skala Likert (Likert scale)yang menggambarkan persepsi konsumen mulai dari
sangat tidak setuju sampai dengan sangat setuju dengan skor 1 sampai 4. Ada tiga
variabel yang diukur dalam penelitian ini yaitu service quality perception,
satisfaction dan purchase intention. Instrumen pengukuran terdiri dari 8 item
pertanyaan yang mewakili service quality perception, satisfaction dan purchase
intention. Variabel service quality perception terdiri dari 2 item pertanyaan,
variabel satisfaction terdiri dari 3 item pertanyaan dan purchase intention
terdiri dari 3 item pertanyaan. Variabel service quality perception diukur
dengan menggunakan empat skala untuk memberikan penilaian persepsi pelanggan
terhadap kualitas pelayanan yang diberikan toko buku Gramedia. Variabel
satisfaction diukur dengan empat skala yang menggambarkan kepuasan pelanggan
setelah melakukan pembelian di toko buku Gramedia. Demikian juga variabel
purchase intention yang mengukur ekspektasi pelanggan untuk melakukan pembelian
ulang di toko tersebut untuk waktu yang akan datang. Penggunaan empat skala
didasarkan pada kebijaksanaan untuk menghindari ekstreme bias dimana dari
pendapat seorang ahli psikolog yang menyat akan bahwa orang asia terutama
Indonesia cenderung memberikan pendapat yang netral (tengah). Sehingga hal ini
dapat menyebabkan kesukaran dalam pengukuran variabel.
Dalam penelitian ini yang dimaksud service quality perception adalah persepsi
konsumen secara keseluruhan baik keunggulan dan kelemahan dari organisasi dan
pelayanannya (Taylor dan Baker dalam Setyawan dan Ihwan, 2004).
Satisfaction yang dimaksud adalah Evaluasi spesifik terhadap keseluruhan
pelayanan yang diberikan, dimana pengukuran atau respon pelangggan dilakukan
secara langsung atas pelayanan yang telah diberikan pemberi jasa (Zeithaml dan
Bitner dalam Setyawan dan Ihwan, 2004).
Purchase Intention merupakan minat pembelian ulang yang menunjukkan keinginan
pelanggan untuk melakukan pembelian ulang (Assael, 1998).
Di dalam analisis data penelitian digunakan metode statistika. Seluruh
perhitungan statistik dilakukan dengan menggunakan bantuan program statistik
SPSS versi 11. Alat analisis yang digunakan adalah Regresi (Regression). Sebelum
dianalisis menggunakan Regresi, data terlebih dahulu dianalisis menggunakan
korelasi antar variabel dengan korelasi Product moment person. Analisis
Bivariate Correlation (Korelasi Product-Moment Person) atau korelasi sederhana
yang sering disebut sebagai korelasi product-moment person, bermanfaat untuk
menghasilkan matrik korelasi pasangan antara 2 variabel. Derajat keeratan
hubungan antara satu variabel dengan variabel lainnya, biasa disebut dengan
koefisien korelasi yang ditandai dengan ‘r’. Tingkat keeratan hubungan
(koefisien korelasi) bergerak dari 0 sampai 1. Jika r mendekati 1 (misalnya
0,95) ini dapat dikatakan bahwa memiliki hubungan yang sangat erat. Sebaliknya,
jika mendekati 0 (misalnya 0,10) dapat dikatakan mempunyai hubungan yang sangat
rendah. Koefisien korelasi mempunyai harga –1 hingga +1. Harga –1 menunjukkan
adanya hubungan yang sempurna bersifat terbalik antara kedua variabel. Sedangkan
hubungan +1 menunjukkan adanya hubungan sempurna yang positif (Alhusin,
2003:149). Sedangkan koefisien Regresi bertujuan untuk memastikan apakah
variabel independen yang terdapat dalam persamaan regresi tersebut secara
individu berpengaruh terhadap nilai variabel dependen. Besarnya koefisien
determinasi dari 0 sampai dengan 1 (Algifari, 1997). Kuesioner yang berhasil
dikumpulkan berjumlah 102 (92%) dari 110 kuesioner yang diedarkan.
Data primer yang terkumpul diseleksi kemudian diuji validitas dengan Factor
Analysis. Menurut Sekaran (2003) validitas menunjukkan ketepatan dan kecermatan
alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya.
Menurut Chia (1995), instrumen dikatakan valid apabila factor loading berada
pada kisaran 0,4 ke atas. Berdasarkan hasil statistik analisis faktor yang
disajikan pada Tabel 1. analisis validitas menunjukkan bahwa semua item valid
dengan nilai extraction lebih besar dari 0.4.
Untuk pengujian reliabilitas menggunakan cronbach alpha untuk menunjukkan sejauh
mana suatu alat dapat dipercaya untuk mengukur suatu obyek, koefisien alpha yang
semakin mendekati 1 berarti butir-butir pertanyaan dalam koefisien semakin
reliabel. Sebuah faktor dinyatakan reliabel jika koefisien alpha lebih besar
dari 0,7 (Sekaran, 2003).
Hasil uji reliabilitas data disajikan dalam Tabel 2. Berdasarkan uji
reliabilitas menggunakan Cronbach Alpha, semua item yang dikumpulkan melalui
instrumen penelitian adalah reliabel karena Alpha lebih besar dari 0.7 (>0.7).
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Korelasi Antar Variabel
Berdasarkan matrik korelasi antar variabel, korelasi antara variabel
satisfaction dengan variabel purchase intention memiliki hubungan yang sangat
kuat dengan kepuasan dengan intensitas pembelian dimana makin tinggi kepuasan
pelanggan makin tinggi juga purchase intention. Variabel service quality
perception juga memiliki korelasi yang kuat dan positif dengan purchase
intention.
Analisis Pengaruh Service Quality dan Satisfaction terhadap Purchase Intention
Pengaruh service quality dan satisfaction secara simultan dan parsial terhadap
purchase intention dihitung menggunakan analisis regresi dengan ? = 5 %.
Dengan servqual, variabel satisfaction terbukti secara simultan berpengaruh
signifikan terhadap purchase intention. Nilai pengaruh Adjusted R2 = 42.3%
menunjukkan variasi perubahan tingkat purchase intention dijelaskan oleh
variabel Servqual dan Satisfaction sebesar 42.3%. Hal ini juga didukung oleh
korelasi yang positif dan kuat antara Service quality perception dan
Satisfaction dengan Purchase intention. Dalam penelitian ini variabel
Satisfaction (kepuasan pelanggan atas layanan retail) dan variabel Service
quality perception (persepsi terhadap kualitas layanan retail) merupakan
variabel yang bersama-sama mempengaruhi Purchase intention (intensitas pembelian
pelanggan), hal ini didasari pemikiran bahwa apabila konsumen puas dan memiliki
persepsi yang baik atas layanan retail maka mereka akan melakukan pembelian
ulang di retail tersebut. Namun hasil ini tidak konsisten dengan hasil
penelitian Setyawan dan Ihwan (2004) yang menyatakan bahwa Service quality
perception tidak berpengaruh terhadap purchase intention.
Pengujian hipotesis 2 pada Tabel 3 dengan signifikansi probabilitas
0.000<0.002<0.05 sehingga dapat diketahui bahwa H2 diterima dan Ho ditolak.
Dengan demikian hasil pengujian ini mendukung hipotesis yang menyatakan bahwa
variabel Servqual dan Satisfaction secara parsial berpengaruh secara signifikan
terhadap purchase intention. Hasil ini mendukung penelitian Setyawan dan Ihwan
(2004) yang menyatakan bahwa variabel service quality dan variabel satisfaction
merupakan variabel yang independen. Hal ini ditunjukkan oleh pengaruh Service
quality dan variabel satisfaction secara parsial terhadap purchase intention,
yang mana variabel service quality dan variabel satisfaction merupakan variabel
terpisah namun masing-masing variabel berpengaruh secara signifikan terhadap
purchase intention. Dalam setting penelitian ini tampak bahwa minat konsumen
dalam melakukan pembelian muncul akibat dari persepsi terhadap kualitas
pelayanan toko buku Gramedia dan kepuasan yang diperoleh dalam pembelian. Jadi
perusahaan retail harus memperhatikan kedua faktor terpisah tersebut dalam
meningkatkan purchase intention.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil analisis statistik dan pembahasan dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:
1. Service Quality perception dan Satisfaction secara bersama-sama berpengaruh
secara signifikan terhadap purchase intention.
2. Service Quality perception berpengaruh secara signifikan terhadap purchase
intention.
3. Satisfaction berpengaruh secara signifikan terhadap purchase intention.
Penelitian ini menunjukkan hasil yang berbeda dengan Setyawan dan Ihwan (2004)
yang menyatakan bahwa variabel Service Quality perception tidak berpengaruh
terhadap purchase intention. Namun hasil ini mendukung hasil penelitian Setyawan
dan Ihwan (2004) yang menyatakan bahwa variabel Service quality dan variabel
satisfaction merupakan variabel yang independen. Penelitian ini mendukung hasil
penelitian Taylor & Baker (1994) yang menyatakan bahwa Service Quality
perception berpengaruh terhadap purchase intention.
Berdasarkan hasil penelitian, penelitian ini diharapkan dapat diimplementasikan
oleh organisasi retail terutama dalam meningkatkan purchase intention pelanggan
dengan strategi meningkatkan kualitas layanan dan kepuasan pelanggan. Faktor
kepuasan pelanggan dan persepsi atas kualitas layanan merupakan faktor yang
perlu diperhatikan oleh perusahaan retail. Melalui peningkatan atas kedua faktor
tersebut diharapkan dapat meningkatkan intensitas pembelian pelanggan yang
membawa dampak pada peningkatan penjualan.
Penelitian ini tidak lepas dari beberapa keterbatasan dan kelemahan.
Keterbatasan dalam penelitian ini berupa kuesioner sebagai alat pengukur
variabel penelitian, persepsi responden tergantung pada pemahaman butir
pertanyaan yang tercantum dalam kuesioner sehingga kemungkinan terjadi perbedaan
persepsi responden dengan pengukuran yang bersifat self reported sehingga
kemungkinan terjadi liniency bias. Peneliti memberikan saran agar metode
pengumpulan data selanjutnya dapat dilengkapi dengan metode lainnya seperti
wawancara agar data yang dikumpulkan lebih akurat dan menghindari perbedaan
persepsi responden dengan pengukuran.
»»  READMORE...

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MINAT DAN PERILAKU MEMBELI KONSUMEN

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MINAT DAN PERILAKU MEMBELI KONSUMEN (STUDI KASUS PADA PT ULTRAJAYA) | Skripsi-Tesis.comSkripsi-Tesis.com
Layanan Referensi Online File Skripsi Tesis Makalah (24 jam) Tentang Kami
   Layanan dan Harga
   Did You Know? You blink over 10,000,000 times a year!RSS Feeds: Posts
  Comments      Simpan alamat Situs ini
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MINAT DAN PERILAKU MEMBELI KONSUMEN
(STUDI KASUS PADA PT ULTRAJAYA)
Jun 16th, 2007 by admin
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHIMINAT DAN PERILAKU MEMBELI
KONSUMEN(STUDI KASUS PADA PT ULTRAJAYA)
1.1. Latar Belakang
Perkembangan dunia usaha saat ini telah membawa para pelaku dunia usaha ke
persaingan yang sangat ketat untuk memperebutkan konsumen. Berbagai pendekatan
dilakukan untuk mendapatkan simpati masyarakat baik melalui peningkatan sarana
dan prasarana berfasilitas teknologi tinggi maupun dengan pengembangan sumber
daya manusia. Persaingan untuk memberikan yang terbaik kepada konsumen telah
menempatkan konsumen sebagai pengambil keputusan. Semakin banyaknya perusahaan
sejenis yang beroperasi dengan berbagai produk/jasa yang ditawarkan, membuat
masyarakat dapat menentukan pilihan sesuai dengan kebutuhannya.
Dewasa ini, keberhasilan pemasaran suatu perusahaan tidak hanya dinilai dari
seberapa banyak konsumen yang berhasil diperoleh, namun juga bagaimana cara
mempertahankan konsumen tersebut. Dalam pemasaran dikenal bahwa setelah konsumen
melakukan keputusan pembelian, ada proses yang dinamakan tingkah laku pasca
pembelian yang didasarkan rasa puas dan tidak puas. Rasa puas dan tidak puas
konsumen terletak pada hubungan antara harapan konsumen dengan prestasi yang
diterima dari produk/jasa. Bila produk/jasa tidak memenuhi harapan konsumen,
konsumen merasa tidak puas, sehingga dimasa yang akan datang konsumen tidak akan
melakukan pembelian ulang. Di lain pihak apabila sebuah produk/jasa melebihi
harapan konsumen, konsumen akan merasa puas dan akan melakukan pembelian ulang.
Perilaku konsumen merupakan suatu tindakan nyata konsumen yang dipengaruhi oleh
faktor-faktor kejiwaan dan faktor luar lainnya yang mengarahkan mereka untuk
memilih dan mempergunakan barang/jasa yang diinginkannya.
Perilaku konsumen suatu produk dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara
lain keyakinan konsumen terhadap produk yang bersangkutan, keyakinan terhadap
referen serta pengalaman masa lalu konsumen. Berkaitan dengan keinginan konsumen
untuk membeli dikenal istilah minat beli. Minat beli merupakan bagian dari
proses menuju ke arah tindakan pembelian yang dilakukan oleh seorang konsumen.
Hal ini merupakan bagian dari kajian perilaku konsumen. Perilaku konsumen dalam
pandangan Winardi (1991: 141) dapat dirumuskan sebagai perilaku yang ditunjukkan
oleh orang-orang dalam hal merencanakan, membeli dan menggunakan barang-barang
ekonomi dan jasa-jasa. Dengan demikian perilaku konsumen terdiri dari
aktivitas-aktivitas yang melibatkan orang-orang sewaktu sedang menyeleksi,
membeli dan menggunakan produk-produk dan jasa-jasa, sedemikian rupa sehingga
hal tersebut memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-keinginan mereka.
Minat beli dapat ditingkatkan dengan memperhatikan beberapa faktor, antara lain
faktor psikis yang merupakan faktor pendorong yang berasal dari dalam diri
konsumen yaitu motivasi, persepsi, pengetahuan, keyakinan dan sikap, selain itu
faktor sosial yang merupakan proses dimana perilaku seseorang dipengaruhi oleh
keluarga, status sosial, dan kelompok acuan, kemudian pemberdayaan bauran
pemasaran yang terdiri dari produk, harga, promosi dan juga distribusi. Perilaku
konsumen pasca pembelian sangat penting bagi perusahaan. Perilaku konsumen dapat
mempengaruhi ucapan-ucapan mereka kepada pihak lain tentang produk perusahaan.
Bagi semua perusahaan, baik yang menjual produk maupun jasa, perilaku konsumen
pasca pembelian, akan menentukan minat konsumen untuk membeli lagi produk/jasa
perusahaan tersebut.
Ada kemungkinan konsumen tidak akan membeli produk/jasa perusahaan lagi setelah
merasakan ketidaksesuaian kualitas produk/jasa yang didapatkan dengan keinginan
atau apa yang digambarkan sebelumnya.
PT Ultrajaya Milk Industry & Trading Company Tbk. Merupakan salah satu
perusahaan yang saat ini terus berupaya mempertahankan konsumen yang sudah ada
dan berusaha memperoleh konsumen yang baru. Hal ini dikarenakan perusahaan
merupakan salah satu perusahaan yang sudah cukup lama bergerak dalam bidang
usaha yang ditekuninya, yaitu makanan dan minuman, sementara banyak pula
perusahaan lain yang bergerak di bidang yang sama. PT Ultrajaya telah berdiri
sejak tahun 1971, sehingga di bidang produksi makanan dan minuman dapat
dikatakan bahwa PT Ultrajaya merupakan salah satu perusahaan pelopor.
Di bidang makanan PT Ultrajaya memproduksi rupa-rupa mentega (butter), susu
bubuk (powder milk), dan susu kental manis (sweetened condensed milk). Di bidang
minuman PT Ultrajaya memproduksi minuman aseptik yang diproses dengan teknologi
UHT (Ultra High Temperature) dan dikemas dalam kemasan karton seperti minuman
susu, sari buah, the, minuman tradisional, dan minuman untuk kesehatan.
Perusahaan juga memproduksi the celup (tea bags) dan konsentrat buah-buahan
tropis (tropical fruit juice concentrate). Pada tahun 2003 perusahaan membukukan
total penjualan bersih sebesar Rp 490,6 milyar yang berasal dari penjualan
produk minuman sebesar Rp 354,1 milyar atau 72,2%, dan berasal dari penjualan
produk makanan (mentega, susu bubuk, susu kental manis, dan lain-lain) sebesar
Rp 136,5 milyar atau 27,8%. Dibandingkan dengan total penjualan bersih pada
tahun 2002 sebesar Rp 408,8 milyar maka total penjualan bersih pada tahun 2003
sebesar Rp 490,6 milyar ini menunjukkan kenaikan sebesar 20,0% atau Rp 81,8
milyar. Kenaikan ini berasal dari penjualan produk minuman UHT (Ultra High
Temperature) yang meningkat 11,4%, produk susu kental manis sebesar 14,3%,
produk susu bubuk (tol packing) sebesar 68,7%, dan produk lainnya seperti tea
bag, cone, dan lain-lain sebesar 180%, sedangkan produk mentega (butter)
mengalami penurunan sebesar 12,8%.Jika dilihat dari data penjualan bersih PT
Ultrajaya yang diuraikan di atas, dapat diketahui bahwa ada perkembangan yang
cukup menggembirakan di bidang penjualan. Akan tetapi pihak manajemen PT
Ultrajaya menyadari bahwa prestasi yang dicapai ini dapat menurun apabila PT
Ultrajaya tidak dapat meningkatkan kepuasan konsumen terhadap produk-produknya.
Di lain pihak adanya perusahaan pesaing yang berusaha merebut pangsa pasar yang
telah ada, merupakan suatu ancaman yang tidak dapat diabaikan. Jika dikaitkan
dengan teori perilaku konsumen, maka salah satu cara yang dapat ditempuh PT
Ultrajaya untuk mempertahankan dan meningkatkan jumlah konsumennya, adalah
dengan mempelajari alasan pembelian yang mereka lakukan terhadap produk PT
Ultrajaya. Setelah mempelajari alasan pembelian tersebut, perusahaan dapat
memanfaatkannya untuk menentukan strategi penjualan perusahaan.Minat konsumen
untuk membeli kembali produk PT Ultrajaya dipengaruhi oleh sikap dan norma
subyektif konsumen. Contoh sikap konsumen adalah adanya keyakinan terhadap
kualitas produk PT Ultrajaya, sedangkan contoh norma subyektif adalah keyakinan
konsumen untuk mengikuti referensi dari orang tua, adik/kakak, sahabat/rekan
kerja, atau tetangganya. Perilaku lampau juga tidak kalah penting dalam
mempengaruhi minat beli. Konsumen yang pernah mengkonsumsi produk PT Ultrajaya
akan menjadikannya sebagai pengalaman dan akan menggunakan pengalamannya
tersebut sebagai penentu keputusan pembelian ulang. Dalam hal ini jika konsumen
mempunyai pengalaman yang baik berkaitan dengan produk PT Ultrajaya maka ia akan
melakukan pembelian ulang terhadap produk perusahaan, akan tetapi jika konsumen
mempunyai pengalaman yang buruk, maka ia tidak akan membeli kembali produk
perusahaan. Sebagai contoh jika konsumen pernah mengalami keracunan ketika
mengkonsumsi produk PT Ultrajaya, maka besar kemungkinan ia tidak akan membeli
kembali produk dari PT Ultrajaya dimasa yang akan datang. Berkaitan dengan
uraian di atas, penulis bermaksud mengetahui pengaruh sikap, norma subyektif dan
perilaku lampau terhadap minat membeli kembali pada konsumen PT Ultrajaya yang
pada akhirnya akan mempengaruhi perilaku membeli konsumen. Hasil penelitian akan
dituliskan dalam tesis berjudul Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Minat
Beli dan Perilaku Konsumen (Studi Kasus pada PT Ultrajaya).

1.2. Rumusan Masalah
Berdasar latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan
masalah sebagai berikut: Bagaimana pengaruh sikap, norma subyektif dan perilaku
lampau terhadap minat konsumen untuk membeli kembali produk PT Ultrajaya dan
pengaruh minat untuk membeli kembali terhadap perilaku membeli konsumen?

1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:1. Untuk mengetahui pengaruh sikap,
norma subyektif dan perilaku lampau terhadap minat konsumen untuk membeli
kembali produk PT Ultrajaya.2. Untuk mengetahui pengaruh minat untuk membeli
kembali terhadap perilaku membeli konsumen.

1.4. Manfaat Penelitian
1. Bagi PT UltrajayaHasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang
seberapa kuat sikap, norma subyektif dan perilaku lampau mempengaruhi minat
konsumen untuk membeli kembali produk PT Ultrajaya dan seberapa kuat pengaruh
minat konsumen untuk membeli kembali terhadap keputusan membeli konsumen.
Informasi tersebut dapat dipergunakan untuk menentukan strategi yang harus
ditempuh perusahaan untuk meningkatkan penjualannya.
2. Bagi Universitas Gadjah Mada
Hasil penelitian ini dapat menambah referensi bagi pengembangan ilmu pengetahuan
khususnya mengenai perilaku konsumen.
3. Bagi Peneliti
Penelitian ini dapat digunakan untuk menerapkan ilmu yang diperoleh di bangku
kuliah di lapangan dan untuk mempertajam pengetahuan mengenai perilaku konsumen.
4. Bagi Peneliti Lain
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan perbandingan dalam penelitian
mengenai aspek-aspek sejenis.

1.5. Landasan Teori
Ada asumsi bahwa aspek-aspek perilaku konsumen yang relevan dengan pengambilan
keputusan manajerial dapat diprediksi secara tepat dan pernyataan-pernyataan
responden dalam survei tentang bagaimana mereka berpikir dan berperasaan tentang
perilaku seperti itu. Dimensi-dimensi pasar seperti kesukaan konsumen terhadap
merek, pangsa merek, kemauan membeli ulang, sering diestimasi dengan
teknik-teknik yang didasarkan pada asumsi tersebut. Ini dapat dilakukan
khususnya dalam kasus tentang produk baru, baik yang masih dalam tahap
pengembangan akhir sebelum dijual maupun yang sudah ada dalam tahap
komersialisasi. Peramalan tentang perilaku atau pilihan konsumen dimasa
mendatang dapat dilakukan berdasarkan apa yang telah mereka katakan tentang
minat mereka untuk mengambil pilihan atau membeli. Meskipun ada beberapa versi
tentang pendekatan ini yang bisa dipakai, semuanya berasal dari tinjauan bahwa
ukuran-ukuran tentang “cognition” (berpikir) dan “affect” (berperasaan) itu
dapat dikombinasikan ke dalam sebuah indeks minat membeli yang kemudian dapat
memprediksi secara akurat pilihan-pilihan konsumen (biasanya untuk satu merek
khusus dalam kelompok produk generik).
Pengukuran seperti itu telah dibuktikan oleh Martin Fishbein (1967) dengan
modelnya yang disebut Behavioral Intention Model. Kemudian model ini
disempurnakan bersama-sama oleh Fishbein dan Ajzen (1975), Ajzen dan Fishbein
(1980) dengan sebutan Theory of Reasoned Action.Theory of Reasoned Action atau
dikenal juga dengan sebutan Reasoned Action Model merupakan model sikap yang
membahas kaitan antara sikap, minat berperilaku, dan perilaku, di samping faktor
lain seperti norma subyektif (Swastha, 1992: 40). Minat berperilaku merupakan
fungsi evaluasi dari keseluruhan sikap terhadap perilaku ditambah keyakinan
tentang pengharapan-pengharapan dari orang penting (relevan) lain terhadap
perilaku seperti itu yang kemudian ditimbang dengan motivasinya untuk menuruti
pengharapan-pengharapan tersebut (norma subyektif); dan minat berperilakunya
akan menentukan perilakunya. Kombinasi antara kekuatan dan evaluasi tentang
keyakinan penting seorang konsumen akan membentuk sikap dan perilakunya. Norma
subyektif konsumen merupakan produk dari keyakinan konsumen bahwa orang penting
lain berpendapat ia seyogyanya atau tidak seyogyanya melaksanakan perilaku plus
motivasi konsumen untuk menuruti pegharapan-pengharapan sosial itu.
Daya prediksi dari theory of reasoned action terlihat pada urusan sebab-akibat
yang menggambarkan bahwa perilaku pembelian konsumen itu terprediksi dari minat
membeli, yang terbentuk melalui suatu proses keputusan yang rasional dan
terberitahu.Theory of reasoned action mampu memprediksi perilaku secara akurat,
tetapi hanya dalam kondisi tertentu yang sangat spesifik. Dengan kata lain, segi
yang paling signifikan dari model itu adalah sebagai alat prediksi untuk situasi
yang sangat spesifik. Manfaat utamanya bagi para peneliti adalah kemungkinan
bahwa ukuran-ukuran minat berperilaku akan memperkirakan pilihan-pilihan
keperilakuan yang aktual di arena pasar; atau prediksi perilaku ditentukan oleh
minat.Para peneliti menganggap bahwa korelasi yang kuat antara ukuran minat dan
ukuran perilaku adalah sangat mungkin terjadi dan memang demikian terjadinya.
Akan tetapi, seperti dinyatakan oleh Fishbein (1973), kondisi-kondisi dan
persyaratan-persyaratan harus mendukung secara maksimal untuk menghasilkan
korelasi yang tinggi sebelum ukuran-ukuran itu diperoleh.Dalam riset pemasaran,
pengukuran minat berperilaku perlu dilakukan segera sebelum pengukuran perilaku
dilakukan. Faktor-faktor lain yang turut campur dalam interval waktu yang pendek
ini akan berakibat semakin lemahnya korelasi antara minat perilaku dengan
perilaku. Lagi pula, minat berperilaku itu harus mengacu pada determinasi
spesifik dari responden untuk melaksanakan tindakan atu perilaku yang spesifik,
yang dibatasi secara jelas dalam suatu situasi tertentu. Jika terjadi
perubahan-perubahan dalam norma subyektif dari konsumen tersebut, dan
konsekuensi dari perubahan yang tidak diharapkan itu turut mempengaruhinya, maka
derajad korelasi antara minat berperilaku dengan perilaku itu akan semakin lemah
(Fishbein, 1973).
»»  READMORE...